Ternyata hutan tak hanya berpenghuni satwa liar dan beragam tetumbuhan, namun juga dihuni oleh masyarakat yang tinggal dan hidup di dalam hutan. Masyarakat ini kerap disebut masyarakat adat, mengapa? Karena masyarakat ini biasanya hidup dengan tata cara adat mereka yang diwariskan oleh leluhur mereka. Definisi masyarakat adat menurut Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) adalah komunitas-komunitas yang hidup berdasarkan asal usul leluhur secara turun temurun diatas suatu wilayah adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial budaya, yang diatur oleh hukum adat dan lembaga adat yang mengelola keberlangsungan kehidupan masyarakatnya.
Jumlah penduduk Indonesia diperkirakan mencapai 250 juta jiwa. Sayangnya hingga saat ini belum ada data resmi dari pemerintah Indonesia tentang masyarakat adat. Ada beberapa pendapat tentang perkiraan populasi masyarakat adat dalam istilah yang berbeda. Data dari Dirjen Komunitas Adat Terpencil (KAT) menyatakan bahwa populasi masyarakat adat (terpencil) 1,192,164 jiwa. Dalam sebuah website yang mendata masyarakat adat di seluruh dunia (www.jhosuaproject.net), mencatat ada 783 kelompok (ethnik dan sub-ethnik) di Indonesia. Sedangkan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) memperkirakan populasi masyarakat adat di Indonesia antara 50 - 70 juta jiwa.
Sebut saja Suku Anak Dalam atau sering juga disebut suku Kubu atau orang Rimba merupakan salah satu suku asli yang ada di Propinsi Jambi. Suku Anak Dalam ini tersebar di beberapa kabupaten, yaitu Kabupaten Batanghari, Tebo, Sarolangun, dan Merangin. Menurut beberapa ahli antropologi, suku ini termasuk kategori Melayu Tua (Proto Melayu).
Suku Anak Dalam, memenuhi kebutuhan hidupnya dari kegiatan meramu, menangkap ikan dan memakan buah-buahan yang ada di dalam hutan. Jenis mata pencaharian lain yang dilakukan adalah meramu di dalam hutan, yaitu mengambil buah-buahan dedaunan dan akar-akaran sebagai bahan makanan. Lokasi tempat meramu sangat menentukan jenis yang diperoleh. Jika meramu dihutan lebat, biasanya mendapatkan buah-buahan, seperti cempedak, durian, arang paro, dan buah-buahan lainnya. Di daerah semak belukar dipinggir sungai dan lembah mereka mengumpulkan pakis, rebung, gadung, enau, dan rumbia. Mencari rotan, mengambil madu, menangkap ikan adalah bentuk mata pencaharian lainnya
Tak jauh berbeda dengan Orang Rimba, Suku Dayak Punan pun memiliki kehidupan yang sangat bergantung dengan hutan. Punan adalah salah satu rumpun suku Dayak yang terdapat di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Timur. Dayak Punan juga tersebar di Sabah dan Serawak, Malaysia Timur yang menjadi bagian dari Pulau Kalimantan. Punan sendiri memiliki 14 sub rumpun diantaranya Punan Hovongan, Punan Uheng Kereho dan Punan Kelay.
Dayak Punan kerap kali mengandalkan sumber daya alam sebagai kebutuhan mereka untuk makan sehari-hari, seperti sayur-sayuran hutan yang berasal dari pohon nibung atau banding (teras dala). Begitu pula dengan daun pakis, atau labu hutan yang memang bersumber dari hutan. Makanan utama mereka adalah umbi dan umbut umbutan hutan, ditambah dengan daging buruan yang mereka temukan. Kehidupan dan kerja mereka sehari-hari adalah berdasarkan limpahan kasih dari alam dan seisinya
Berangkat dari kenyataan yang saya paparkan diatas, saya sangat percaya bahwa masyarakat adat hidup dengan cara-cara mereka sendiri, dengan kearifan lokal mereka yang menghormati alam sebagai sumber kehidupan mereka. Bahkan, tidak hanya itu, bagi masyarakat adat hutan adalah warisan budaya yang diturunkan dari leluhur mereka.  Sayangnya, entitas mereka tidak diakui dan tidak dilindungi oleh pemerintah, sehingga keberadaan mereka atas suatu wilayah lemah secara hukum formal. Tidak heran jika banyak terjadi perampasan dan alih fungsi lahan disana-sini, karena masyarakat adat tak punya daya untuk mempertahankan ‘rumah’ mereka.
Masyarakat adat bukanlah kelompok yang lemah, bodoh dan terpinggirkan. Justru warisan budaya bangsa Indonesia banyak bersumber dari harmonisasi kehidupan masyarakat adat dan hutan. Sudah sepatutnya kita perlu melestarikan hutan, agar kita tidak kehilangan budaya asli Indonesia.